Negeri 1000 Pagoda Yang Menggoda

Julukan ”Negeri 1000 Pagoda” bagi Myanmar, yang dulu bernama Burma, sering kali menggoda untuk dikunjungi. Namun, akibat keterbatasan informasi dan citra negeri ini, terkait junta militer, turis masih enggan menyinggahinya. Bagi saya, ini menjadi daya tarik tersendiri bagi turis untuk berkunjung dengan membawa berbagai per tanyaan: Bagaimana kehidupan masyarakatnya? Keunikan apa yang kita temui? Adakah destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi?

Kunjungan dengan rasa penasaran ke Myanmar, saya lakukan awal Maret 2016. Setelah singgah di Negeri Jiran Malaysia, perbedaan waktu selisih 30 menit lebih awal di Yangon tidak perlu penyesuaian. Kesan pertama singgah di Kota Yangon seolah memutar waktu 20 tahun ke belakang. Meskipun Yangon sudah bukan ibukota Myanmar, geliat kehidupan kota sangat tampak di kota itu. Berbeda dengan Naypyidaw, ibu kota Myanmar yang berjarak320 kilometer dari arah utara Yangon. Meski berstatus sebagai pusat pemerintahan, kota ini terasa sepi dari aktivitas. Namun Sang perancang kota ini memprediksi Naypyidaw akan menjadi kota terbesar ketiga setelah Yangon dan Mandalay.

Kesan pertama pada infrastruktur di Yangon, terlihat sudah cukup berkembang. Namun, banyak sudut kota yang memiliki rumah susun hunian yang kurang terawatt. Sekilas terlihat transportasi umum di Myanmar tak lebih nyaman dibandingkan metromini di Jakarta. Bahkan ada anekdot “Jika bepergian dengan kereta api di Myanmar akan lebih lama ketimbang berjalan kaki.” Barangkali saking lambatnya kereta api melaju.

Tradisi sarungan

Salah satu cirri khas di negeri ini, yaitu tradisi sarungan mengingatkan tradisi di kampung- kampung kita, terutama di daerahsantri seperti Jawa Timur. Di Negeri ini, sarung sebagai pakaian tradisional disebut longyi, lumrah dipakai sehari- hari, untuk dipakai ke mal sekali pun.

Sebagai salah satu bekas tanah jajahan India, juga bagian dari kolonialisme Inggris, Yangon meninggalkan jejak kehidupan yang dipengaruhi sang empu. Banyak ditemukan arsitektur berlanggam gaya Eropa. Salah satu yang terkenal adalah gedung Balai Kota (City Hall). Sekarang, gedung tersebut ditempati sebuah bank.

Dari sini merupakan titik awal wisatawan yang berkunjung ke negeri ini untuk mengikuti tur keliling dunia (City Tour). Acara ini, biasanya dilakukan setiap minggu pagi. Seperti yang dilakukan salah satu kelompok sukarelawan dengan tujuan memperkenalkan wisata kota di Yangon.

Bila pelancong menyukai kegiatana luar ruang, salah satu yang bisa menjadi tujuan adalah taman- taman kota.. di area Taman kota, banyak anak muda bercengkrama di sore hari untuk memadu asmara. Duduk berdua beralaskan rumputmerupakan aktivitas lumrah saat memadu kasih. Salah satunya di Taman Maha Bandoola di kawasan pusat kota.

Salah satu tempat yang harus dikunjungi oleh pelancong di Yangon adalah pagoda terbesar di dunia, Shwedagon. Pelancong dikenakan tariff masuk 8.000 kyat setara dengan rp 89.000 per-oranguntuk memasukinya. Tempat suci itu menjadi salah satu tempat favorit turis asing untuk swafoto atau foto bersama. Lokasi pagoda itu tidak terlalu jauh dari KBRI.

Satu catatan penting bagi setiap pelancong adalah sisi keamanan mengunjungi Myanmar. Meski masih dalam baying-bayang suatu negeri dengan pemerimntahan rezim militer, rasa aman dirasakan penulis ketika coba mengelilingi Kota Yangon.

Pilihan Destinasi Wisata

Meskipun terkendala secara geografis, yakni tak ada penerbangan langsung ke negeri ini, destinasi wisata di Myanmar menjadi agak sulit bila hanya memiliki sedikit waktu. Masalahnya, ada beberapa destinasi wisata menarik berlatar belakang sejarah dan budaya dapat dijumpai di Kota Mandalay. Namun, perlu waktu sembilan jam untuk menempuh perjalanan ke arah utara Yangon dengan menggunakan transpor tasi bus yang relatif nyaman. Cukup membayar 24.000 kyat (sekitar Rp 269.000) sekali perjalanan. Bagi yang hanya memiliki waktu melancong terbatas, dapat mengunjungi Golden Rock (Kyaiktiyo Pagoda) dengan waktu tempuh empat jam dari Kota Yangon. ” Om, nanti kita naik ke atas gunung pakai truk terbuka, rame-rame!” kata Danang Narendra, keponakan saya yang turut menemani di sela waktu magangnya di KBRI Yangon. Ternyata memang benar, ketika sampai di terminal, truk-truk berjajar siap mengantar wisatawan. Setiap pengunjung dikenakan tarif 5.000 kyat (Rp 56.000) untuk sekali perjalanan. Duduk saling berimpit karena harus pas untuk satu baris diisi enam orang. Deru mesin sudah terdengar tanda truk sudah penuh muatan wisatawan. Siap melaju menuju puncak gunung yang akan dituju. Ya, ampun! Supir memacu kendaraannya dengan cekatan, meskipun jalan menuju puncak gunung dengan kelokan dan tanjakan cukup curam. Kelokan dan tanjakannya, mengingatkan saya jalan dari arah Cidaun, Kabupaten Cianjur ke arah Ciwidey di Kabupaten Bandung. Malah lebih dari itu. Hingga detak jantung berpacu kencang seiring naiknya andrenalin. Rasa khawatir muncul ketika truk konvoi melahap tanjakan curam dan kelokan tajam.

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan 40 menit, sampailah di terminal akhir di kawasan Kyaiktiyo Pagoda. Perjalanan dilanjutnya dengan berjalan kaki, setelah membayar 6.000 kyat (Rp 67.000) untuk wisatawan asing, dan bebas masuk untuk peziarah lokal. Tarif itu cukup murah ketimbang tarif wisatawan asing masuk ke Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu. Tampak dari dekat batu granit berlapis ker tas emas. Batu itu seakan siap tergelincir. Sensasi hawa dingin dan terik matahari bercampur menjadi satu. Sejauh mata memandang, tampak wajah pegunungan khas Myanmar. Bagi para pelancong yang ingin menikmati sensasi perjalanan dan suguhan keindahan alam pegunungan khas Myanmar, inilah mungkin pilihan tepat untuk dikunjungi.(Kunkun Kurniawan)***

Scroll to Top