GELIAT WISATA BUDAYA DAN TRADISI DI KEPULAUAN PANDAI BESI

Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk 4 pulau besar dan sejumlah pulau kecil lainnya di ujung tenggara Pulau Buton Sulawesi Tenggara. Penamaan ini diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakat dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan sehari hari. Secara administrasi kepulauan ini bernama Kabupaten Wakatobi yang mendeklarasikan sebagai kabupaten maritim pertama di wilayah nusantara. Catatan sejarah menunjukkan ada hubungan erat antara Kesultanan Buton dengan kehidupan masyarakat di Kepulauan Pandai Besi ini.

Sebagai salah satu “Bali Baru” dari 10 Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata yang dicanangkan sebagai destinasi wisata unggulan, menyambangi Wakatobi menjadi daftar wajib kunjungan saya setelah menuntaskan kunjungan terakhir di Raja Ampat. Keunggulan potensi alam Wakatobi yang secara geografis terdiri dari 97% lautan dan 3% daratan berpusat di kekayaan hayati bawah laut. Namun ada potensi lain yang bisa menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Wakatobi. Tidak seperti wisata bawah air yang menyasar wisatawan minat khusus, wisata daratan yang berkaitan dengan keindahan alam dan kekhasan budaya lokal  menjadi objek menarikpula bagi wisatawan. Pilihan lain bisa menjumpai atraksi  sekawanan lumba lumba di perairan Kapota.

Helatan Seni Budaya dan Daya Tarik Wisata Sejarah di Wakatobi

Kunjungan Crew59 kali ini bertepatan dengan helatan seni dan budaya tahunan Kabupaten Wakatobi yang bertajuk “WAKATOBI WAVE 2017” di Pulau Wangi wangi. Event ini menjadi ruang pamer rupa budaya khas masyarakat di 4 pulau besar Kepulauan Pandai Besi. Tarian, musik,kuliner dan permainan tradisional menjadi sajian utama di acara ini. Salah satu tradisi unggulan yang ditampilkan adalah Tarian Lariangi. Salahsatu aset budaya khas Pulau Kaledupa. 3 pulau lain yang membentuk WAKATOBI yaitu Wangi wangi, Tomia, dan Binongko tentu memiliki seni budaya yang menarik pula.“Leama” kata yang berarti bagus dalam bahasa lokal ini sangat pas untuk mengambarkan ketakjuban akan rupa budaya lokal yang dipamerkan dalam event WAKATOBI WAVE 2017.Gadis gadis belia dengan tata rias rambut, wajah serta gerakan tarian penuh makna, pesan dan kisah masa lampau. Selain memamerkan rupa budaya, dalam event ini  juga ditampilkan banyak stand pameran. C59 yang memiliki visi dan misi yang sama dalam upaya mengenalkan dan memajukan destinasi destinasi wisata lama maupun baru, turut hadir dalam helatan tahun ini. Bekerja sama dengan mitra bisnis lokal Wisata Beach Hotel, C59 membuat beberapa produk merchandise yang bertemakan potensi wisata di Wakatobi. Stand Pameran ini menjadi ruang untuk menampilkan produk C59 merchandise bertemakan Wakatobi.

Setelah menyaksikan pergelaran seni budaya khas wakatobi yang ditampilkan selama 3 hari ternyata menyisakan sebuah pertanyaaan, bagaimana rupa budaya ini terbentuk dan menjadi sebuah tradisi di masyarakat Kepulauan Wakatobi ini. Tentu ada benang merah sejarah yang melatari dan menarik disusur ke masa lalu. Ketertarikan awal didasari dari kunjungan ke Benteng Liya Togo, sebagai sisa peninggalan Kesultanan Buton di Pulau Wangi wangi.

Jejak sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Wangi wangi ditandai dengan berdirinya MASJID MUBARAK di sisi barat sebuah lapangan. Sebelah Timur terdapat BARUGA semacam balaurang tempat pertemuan petinggi kuasa Liya. Ada tradisi yang berlangsung sampai saat ini, lapangan kampung Liya Togo dipakai untuk tradisi baku tendang (Posepa) setelah perayaan Idul Fitri. Asal usulnya tradisi ini untuk melatih ketrampilan pasukan pengawal pertahanan di Benteng Liya Togo.

Seperti halnya peninggalan  benteng benteng lainnya di nusantara, Benteng Liya Togo sebagai benteng pertahanan terluar dari Kesultanan Buton dilengkapi senjata tangguh pada masanya, berupa meriam. Dari penuturan pemandu perjalanan, Benteng Liya Togo memiliki 3 meriam, yaitu Meriam Ronsokoloku (Meriam sapu bersih), Meriam Manangi (Meriam penyemangat) Meriam Buli (Meriam Anus).

“ Mungkin meriam ketiga ini yang paling ditakuti, ketika meriam buli dibunyikan maka serdadu musuh dibikin kocar kacir karena urusan buang hajat” cetus Nouval, teman perjalanan sambil berkelakar. Spontan saya menimpali “ Inilah senjata yang paling humanis, tanpa pertumpahan darah dan mungkin tak akan ada korban jiwa akibat perang”

Setelah tuntas menyusuri kawasan benteng, saya diajak berkunjung ke rumah warga untuk mencicipi sajian kudapan lokal. Segelas Sampalu, sejenis minuman terbuat dari asem jawa, mampu mengusir dahaga serta sanggarabanda, kudapan pengganjal rasa lapar yang mengingatkan saya seperti kue putri noong jajanan khas Jawa Barat. Kudapan ini kerap disuguhkan bagi wisatawan yang berkunjung ke Kampung Liya Togo.

Aktrasi Wisata Mamalia Laut Cerdas

 

Kegiatan wisata yang tidak kalah menariknya untuk dilakukan di wakatobi adalah menjumpai lumba lumba di habitat aslinya. Sehabis Shalat Subuh dari penginapan  kami bergerak untuk melanjutkan perjalanan ke Sombu Jetty tempat perahu yang akan mengantar kami menjumpai lumba lumba di perairan Kapota bersandar. Tanpa membuang waktu, perahu kami naiki dan penumpang mulai menyiapkan kamera dan gadget untuk merekam kegiatan perjumpaan ini.

Di perairan Kapota ini dapat dijumpai 2 jenis Lumba lumba yaitu Lumba lumba hidung Botol dan Lumba lumba Risso. Sekitar 2 Km dari garis pantai, sudah terlihat pergerakan lumba lumba. “lihat ke arah pukul 2” seru sang pengemudi kapal. Terlihat dari jauh lumba lumba melompat di atas air laut. Di sekitar tampak beberapa kapal melakukan perburuan yang sama. Rasa khawatir timbul seandainya pengemudi kapal kapal ini lepas control dan bertabrakan. Lumba lumba semakin dikejar semakin sulit didekati. Terlihat perahu perahu bergerak zig zag mengejar mendekati kawanan lumba lumba  untuk mendapatkan momen foto yang terbaik. Waktu berlalu tidak terasa, sang fajar sudah meninggi. “Golden Hour” pertunjukkan sang mamalia laut ini akan segera berakhir. Rasa lelah mendera, saking sulitnya mendapat hasil foto yang baik, kami memutuskan untuk tidak memaksakan mendekati sang mamalia laut yang cerdas ini. Tanpa diduga, sekawanan lumba lumba mendekati kami seakan akan menyapa kami di haluan kapal. Akhirnya momen kedekatan ini dapat kami abadikan dalam beberapa bingkai foto.

Menjumpai Sang pengembara Lautan

Kampung Mola adalah hunian suku bajau yang berada di Pulau Wangi wangi. Berkunjung ke kawasan ini tidak terlalu sulit. Kawasan ini tidak jauh dari pasar besar Wanci. Memasuki jalanan menuju Kampong Mola ini sudah terfasilitasi jalan darat yang menghubungkan antar rumah. Di ujung kawasan menuju tepi laut dapat dijumpai rumah tinggal dengan pancang kayu tinggi beratap seng, dinding  rumah warna warni, berdiri diatas perairan yang berhubungan langsung dengan lautan lepas. Jangan bertanya mengenai asal usul, jejak jejak pengembaraanlah yang membuktikan bahwa sungguh mereka para pelaut ulung. Meski sudah terpengaruh kehidupan daratan, suku bajau penghuni Kampung Mola tetap memelihara tradisi “orang laut” nya. ”Gile, anak kecil gak ada takutnya nyelem” sahut teman perjalanan sekaligus fotographer, Bastian yang menemani penyusuran ke Kampung Mola. Kepandaian dan keberanian anak kecil bermain air, berenang dan menyelam seakan alam sudah mengajarkan. Mungkin ini bentuk penanaman nilai tradisi dan keahlian yang harus lestari. Bila berkeinginan melihat kehidupan suku bajau yang lebih tradisional, dapat menjumpai permukiman suku bajau Mantigola di Pulau Kaledupa. Namun sayang, kesempatan berkunjung tidak ada.  Seolah menyisakan rencana kedua di kemudian hari, untuk melengkapi kunjungan ke Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Benar seperti yang dikatakan teman perjalanan bastian dengan sedikit meledek “Jangan pernah mengaku  ke Wakatobi, kita baru ke Wa nya saja”

Serangkaian kegiatan yang dilakukan Crew 59 di salah satu Bali Bali yang dicanangkan oleh Kementrian Pariwisata ini menegaskan kembali bahwa C59 sebagai salah satu produk fashion lokal memiliki komitmen kuat untuk turut serta memajukan dan mempopulerkan destinasi destinasi wisata di Indonesia. C59 sepaham untuk menjadikan pariwisata menjadi salah satu motor utama untuk menggerakan dan mengembangkan sektor ekonomi rakyat di daerah. Melalui kreatifitas pula berharap kita dapat turut menjaga kelestarian alam dan warisan budaya yang menjadi aset dalam pengembangan pariwisata di masa depan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top